Si Gila kerja. Sekarang ini, istilah hustle culture sering banget kita dengar. Literally di mana pun. Kalau ingin menjadi sukses, kita harus terus-terusan hustling. Apa sih sebenarnya hustle culture itu?
PUNYA MINDSET BANGGA KALAU DIRINYA MERASA ‘SIBUK’
“Gue butuh kopi nih, semalam gw cuma tidur 3 jam.”
“Duh gila kerjaan gue numpuk banget! Gak bisa deh jalan-jalan”
Kalimat di atas adalah salah satu contoh orang yang punya mindset hustle culture, mengglamorisasi overworks dan workaholic, seolah work-life balance itu hanyalah sebuah kiasan aja.
Hustle culture adalah sebuah gaya hidup gila kerja ketika kita dituntut buat bekerja terus, di mana pun kita berada. Mau itu lagi weekend atau liburan, pokoknya gak pernah bisa berhenti kerja deh. Menurut Impact Plus, hustle culture adalah standar sosial yang menganggap kesuksesan hanya bisa diraih kalau kita benar-benar mendedikasikan hidup kita untuk bekerja sekeras-kerasnya. Dorongan kolektif untuk kita bekerja lebih keras, lebih cepat, lebih tahan banting, setiap harinya.
KENAPA HUSTLE CULTURE ITU BERMASALAH (TOXIC)
Menurut Aidan Harper, creator dari European workweek shrinkage campaign ‘4 Day Week’, hustle culture menciptakan asumsi kalau satu-satunya value kita sebagai manusia hanya dilihat dari kemampuan seberapa produktifnya kita bekerja, bukan dari sisi kemanusiaan itu sendiri.
Hustle culture memaksa kita buat multitasking, padahal multitasking terbukti mengganggu workflow yang akhirnya mempengaruhi kualitas dari pekerjaan itu sendiri. Dilansir dari Forbes, multitasking menurunkan produktivitas dan efektivitas bekerja hingga 40%, bahkan merusak kemampuan kognitif otak sehingga menurunkan IQ seseorang.
Kebanyakan kerja (overworking) bisa bawa pengaruh buruk ke kesehatan. Berisiko kena hipertensi, jantung, diabetes, dan lain sebagainya. Kasus overworking ini sudah sering terjadi, contohnya di Jepang di bulan Maret 2016, mencatat ada 2000 pegawai yang suicide karena stres bekerja. Dan di indonesia sendiri, pernah geger pas tahun 2013 ada seorang copywriter salah satu perusahaan periklanan bernama Mita Diran, meninggal sehabis bekerja nonstop 30 jam.
Hustle culture juga memicu burnout. Ketika kita mengalami kelelahan bukan cuma fisik tapi juga mental akibat beban stres yang berlebihan, karena kewalahan memenuhi tuntutan pekerjaan yang gak pernah ada akhirnya.
Budaya hustle ini sebenarnya sudah ada sejak lama, tapi semakin nyata ketika zaman start up atau enterpreneurship mulai berkembang. Anak muda seolah terobsesi untuk menjadi CEO sukses kayak Steve Jobs atau Mark Zuckerberg. Elon Musk (CEO Tesla Motors) pernah nge-tweet kalau orang yang cuma kerja 40 jam seminggu, gak akan bisa mengubah dunia. Dia juga nambahin kalau kita mencintai apa yang kita kerjain, hal itu gak akan terasa seperti pekerjaan. Padahal pernyataan Elon Musk ini pada realitasnya gak berlaku untuk semua orang.
SUKSES ITU GAK SEPENUHNYA MURNI KARENA KERJA KERAS DAN BAKAT AJA
Di artikelnya, BBC pernah menulis berdasarkan tweet dari penulis UK, Kate Lister. Intinya, kerja keras gak akan ada banyak artinya bila gak ada orang yang bsia menghargai hal tersebut. Menghargai di sini maksudnya adalah dalam bentuk promosi jabatan untuk naikin status atau rewards di perusahaan.
Alasan lainnya yang sering dilupakan, tiap orang punya starting point yang berbeda-beda. Ada yang udah bekerja keras 24/7, tapi jangankan buat ngubah dunia, keluar dari kemiskinan aja sulit.
Karena itu, kesuksesan gak bisa dilihat dari sekedar faktor kerja keras dan bakat, ada faktor lain yang mempengaruhinya yaitu kesempatan, privilege, networking, dan keberuntungan.
CARA KELUAR DARI HUSTLE CULTURE
Ada beberapa cara biar gak terperangkap di gaya hustle culture:
Foto: Shutterstock