MY LOOKS
MY BODY
MY LIFE
WHAT'S NOW
I AM FAST 3000
SOFTEX FOR UNICEF
FIRST PERIOD
PRODUCT
My Life
MY LIFE

Sex Education 101: Tentang seks yang Seharusnya Penting untuk Remaja ketahui

 

Melanjuti artikel KENAPA SEX EDUCATION ITU PENTING, sebenarnya dalam bentuk apa sih sex education disampaikan di sekolah kita? Apakah disisipkan dalam sesi pelajaran khusus cewek yaitu tentang kesehatan wanita seperti seputar menstruasi (haid), penggunaan pembalut, kesehatan Miss V. Atau disisipkan di pelajaran kesehatan lainnya yang membahas organ reproduksi dan pubertas?  

 

Di beberapa sekolah, materi sex education kadang juga kadang disisipkan di mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes), Agama, Bimbingan Konseling, atau bahkan diberikan oleh pihak luar seperti lembaga dan organisasi yang datang ke sekolah.

 

Dikutip dari CNN Indonesia, menurut Direktur Pendidikan Dasar dan Menengah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad bilang kalo sex education emang nggak secara langsung disebut di kurikulum, namun secara eksplisit udah masuk dalam pendidikan kesehatan reproduksi. Menurutnya, selama pihak sekolah bisa mengajarkan materi pendidikan kesehatan reproduksi sesuai dengan aturan, para pelajar bisa memahami soal seksualitas.

 

Yang jadi jadi pertanyaan, adalah apakah materi yang hanya disampaikan dua tiga kali bisa membuat kita paham dan mengerti secara mendalam tentang apa itu seks? Sementara sudah jelas seks nggak hanya melulu tentang fisik tapi justru lebih luas dari pada itu.

 

Ada beberapa hal -selain fisik- yang sebenarnya penting buat kita ketahui dan paham soal seks dan organ reproduksi, tapi sayangnya baik guru dan juga orangtua kita nggak menyampaikannya, yaitu:

 

SEKS ITU NGGAK CUMA TENTANG (KONTAK) FISIK TAPI JUGA EMOSIONAL

Sex education di Indonesia sayangnya nggak sesuai dengan realitas perilaku seksual remaja saat ini. Pendidikan seks yang ada sekarang terlalu menitikberatkan sama fungsi organ reproduksi tapi melupakan sisi emosional. Masa remaja adalah masa dimana emosi kita masih belum stabil, banyak kejadian remaja melakukan hubungan pra-nikah karena terbawa emosi dan kasih sayang tanpa tahu dan sadar resikonya. Walaupun penting buat kita tahu fungsi organ-organ tubuh dan gimana menjaga kesehatannya, tapi penting juga buat kita paham kalo hubungan seks bukan cuma sekedar demi memiliki keturunan tapi juga berhubungan dengan perasaan, hubungan kita dengan lawan jenis, dan tanggung jawab. Mirisnya, perasaan ini jugalah yang nggak jarang ngejebak kita buat melakukan kontak fisik dan hubungan pra-nikah atas dasar cinta, sekedar pembuktian. Apakah hal ini dibahas? Sayangnya dari apa yang Hapifyourworld temui, mereka berharap remaja dapat mengetahuinya sendiri.

 

GIMANA CARA KITA MENGENDALIKAN NAFSU

Sex education yang diberikan oleh sekolah cenderung lebih menekankan bahaya dan resiko seks pra-nikah dari sudut pandang moral dan agama. Dan terkadang terkesan menghakimi daripada membimbing. Kita hanya tahu kalo seks pra-nikah bisa nyebabin kehamilan yang nggak diinginkan, penyakit menular seksual, dan tentunya dosa. Tapi kita jarang ngedapetin bimbingan ilmu tentang gimana caranya kita bisa mengendalikan nafsu yang  bisa mengarah ke tindakan seks pra-nikah. Karena terlalu fokus sama pencegahan, sekolah, orang tua dan juga lembaga yang terkait melupakan satu point penting yaitu gimana dengan anak-anak remaja yang sudah aktif secara seksual? Apakah ada pendidikan khusus atau wadah dimana mereka bisa berdiskusi atau mengadu secara pribadi? Kalo nggak ada, lalu kemana mereka harus mencari solusi?

Selain itu, dikutip dari IDNTimes, memblokir situs ‘berbahaya’ atau melarang remaja A, B, C,... nggak akan memecahkan masalah, karena tidak akan mengubah kenyataan kalo manusia emang pada dasarnya punya nafsu. Jadi kenapa malah nggak diajarkan cara untuk mengendalikannya?

 

OUR PERSONAL BOUNDARIES DAN CARANYA UNTUK BILANG “NGGAK”

Salah satu materi yang kurang diberikan ke siswa remaja juga adalah soal kekerasan dalam pacaran. Kekerasan dalam pacaran itu nggak cuma dalam bentuk fisik aja lho, tapi juga kekerasan verbal, emosional, bahkan seksual. Udah banyak survei dan studi yang membuktikan kalo korban kekerasaan dalam pacaran mengalami kontak seksual yang sebenarnya nggak mereka inginkan. Dari yang diraba bagian tubuhnya, bahkan sampai dipaksa untuk berhubungan seks pra-nikah oleh pacarnya sendiri. Mirisnya, musti diakui kalo seks pra-nikah cenderung menghakimi perempuan daripada laki-laki.

 

Kasus seperti ini sebenarnya berhubungan banget dengan sex education dan personal boundaries serta gimana cara kita berani buat bilang “nggak”. Nggak sedikit lembaga ataupun sekolah yang melewati hal ini dan malah melarang siswanya buat berpacaran, bukannya memberikan pemahaman gimana cara berpacaran yang sehat dan aman.

 

 

JADI GIMANA SIH SEBENARNYA SEX EDUCATION YANG IDEAL?

Berdasarkan dari tiga point di atas, sex education yang seperti apa sih yang seharusnya diajarkan ke kita?

 

Yang pertama, kita harus memahami dulu kalo dorongan seks itu adalah naluriah. Hasrat untuk melakukan seks itu nggak aneh sama sekali kok, karena naluri ini emang pemberian dari Tuhan. Tapi kita sebagai manusia juga diberi akal dimana kita punya kuasa penuh untuk mengontrolnya demi untuk kebaikan kita sendiri. Bukan karena takut karena omongan orang, apalagi paksaan.

 

Yang kedua, mengendalikan nafsu itu susah emang tapi bukan berarti nggak bisa. Mengendalikan nafsu bukan cuma sekedar melarang, tapi juga demi mencegah terjadinya hal-hal yang nggak diinginkan karena kita belum siap menanggung resiko dan tanggung jawabnya. Ada banyak cara untuk mengendalikan nafsu, misalnya meminimalisir kontak fisik sama pacar, jangan nonton adegan yang mengarah atau berpotensi nimbulin gairah, atau kalo udah mulai mengarah “ke sana” buru-buru alihkan perhatian kita ke hal lain. Ingat, kita punya kuasa penuh sama pikiran dan badan kita.

 

Yang ketiga, seks nggak cuma dilakukan demi memperoleh keturunan tapi juga karena kedua orang sama-sama saling mencintai. Pacaran emang ngelibatin emosi dan perasaan, tapi itu bukan excused untuk dijadikan alasan sebagai pembuktian cinta atau buat nunjukkin rasa sayang kita ke pacar. Kalo pacar kita benar-benar sayang sama kita, dia pasti akan me-respect dan menjaga kita sebaik-baiknya. Jadi kalo misalnya pacar kita malah melakukan hal sebaliknya, mungkin harus dipertimbangkan apakah pacar kita suka atau hanya nafsu aja. Don’t hesitate to say “NO”, badanmu adalah hak milikmu sepenuhnya. Dan jangan juga kemakan omongan temen, hanya karena teman-teman kita udah melakukannya bukan berarti kita juga harus ngelakuin. Cara terbaik keluar dari peer pressure kayak gini adalah cari teman lain yang bisa bawa dampak positif dan nge-support kita secara real.

 

Ingat: TUBUH KITA ADALAH HAK KITA, DAN NGGAK ADA SEORANG PUN YANG BERHAK MENGATUR DAN MENJAGANYA SELAIN KITA SENDIRI.

 

SELAIN ITU ADA HAL LAIN LAGI YANG MUSTI DISERTAKAN DI SEX EDUCATION,

Sex education sebaiknya nggak cuma mencegah tapi juga memberikan solusi dan menanggulanginya. Kita nggak bisa cuek dan nutup mata kalo pada kenyataannya ada banyak remaja yang udah terlanjur melakukan seks pra-nikah, dan nggak sedikit juga yang akhirnya melakukan hal ekstrim seperti aborsi. Orangtua, guru ataupun orang dewasa lainnya bisa mengajarkan dan mengingatkan kita, tapi tetap aja mereka nggak bisa sepenuhnya mengawasi dan mengendalikan tindakan kita kan, jadi semua keputusan ada di tangan kita. Makanya informasi kayak alat kontrasepsi sebenarnya penting banget buat disosialisasiin (dengan catatan kalo alat tersebut nggak 100 persen melindungi kita), dan anjuran apa yang harus kita lakukan apabila kita terlanjur melakukan seks pra-nikah. Misalnya menyediakan wadah untuk mereka melakukan konsultasi pribadi, ataupun adanya psikiater yang khusus untuk remaja. Dengan adanya wadah seperti ini maka edukasi dan informasi yang diterima oleh remaja juga bisa tersaring dengan baik dan nggak ada namanya judging dengan stigma-stigma tertentu.

 

Akan lebih baik kalo sex education bukan lagi hal tabu dan semua orang berpikiran terbuka untuk membicarakannya, serta menginformasikannya dengan benar ke para remaja.

 

 


Foto: Shutterstock

Prev
Next

Bagikan artikel ke :