Kalo melihat teman-teman, keluarga, selebriti yang baru aja menikah atau akan menikah rasanya kita kayak dikomporin biar cepet-cepet menikah juga. Apalagi dengan iming-iming kalo nikah itu enak dan menyenangkan, berasa makin ngebet aja untuk menikah. Tapi apakah emang benar begitu? Apakah kita sendiri udah siap untuk menjalani kehidupan berumah tangga? Apakah kita menikah hanya karena ngebet padahal umur masih muda atau simply karena pingin aja? Yuk kita lihat realitanya tentang menikah muda.
FYI, 16 September 2019 lalu, DPR-RI baru aja mengesahkan tentang batas minimal umur perkawinan bagi perempuan dan laki-laki dipersamakan, yaitu 19 tahun. Hal ini guna menyelamatkan anak Indonesia atas praktik perkawinan anak. Dilansir dari Nasional.Sindonews, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), angka persentase pernikahan dini meningkat 15,66% pada 2018, dibanding tahun sebelumnya 14,18%. Hal ini agak menyedihkan mengingat usia pernikahan yang tercatat adalah 16 tahun atau kurang, di mana umur segitu dirasa belum cukup untuk mengemban tanggung jawab rumah tangga.
Menikah itu adalah kehidupan baru yang penuh tantangan bahkan untuk orang dewasa sekalipun. So udah pasti menikah muda kesulitannya akan lebih banyak karena itu harus dipikirkan dengan benar sebelum mengambil keputusan untuk bilang “yes, I do”.
True Story Sinta (bukan nama sebenarnya):
Tiap perempuan pasti punya potensi diri yang besar yang ada dalam dirinya. Bisa berupa impian, cita-cita, passion, ataupun bakat. Dengan menikah muda, hal tersebut tentunya akan terhambat sebelum digali. Karena bila dilihat dari umur yaitu 19-25 tahun, kita masih ada dalam usia produktif (entah masih kuliah, baru lulus atau first jobber) atau bahkan sedang meniti karir. Sebagian dari kita mungkin aja sedang meraba-raba mencari apa sih passion kita sebenarnya. Begitu ketemu kehidupan pernikahan, potensi diri kita untuk mencapai itu semua akan turun 20 hingga 30%. Yang tadinya mau S2 di luar negeri atau dapat beasiswa idaman, jadi batal karena nggak bisa jauh dari suami. Yang lagi berkarir pun nggak bisa konsen sepenuhnya karena harus mikirin rumah dan suami, karir pun akan sulit menanjak karena berbagai pertimbangan. Dan begitu punya anak, mereka akan jadi prioritas kita nomor satu. Sehingga otomatis kita akan melupakan impian dan cita-cita personal kita.
Yes, kita sangat mungkin bisa menjadi ibu dan istri yang baik, tapi mungkin nggak bisa menggali potensi diri kita sepenuhnya. Berbeda ketika karir kita udah settle, udah melakukan dan nyobain segala hal ketika masih sendiri, atau udah setengah sukses jadi pas menikah udah tinggal melanjutkan aja, sehingga nggak akan begitu berat untuk ngeraih puncak potensi tadi.
Masalah Kedewasaan
Just face it, anak usia muda kayak kita apakah udah siap memikirkan dan menanggung beban tanggung jawab orang lain (suami dan anak) sementara untuk mengurus diri kita sendiri aja masih kerepotan.
Kalo masih belum dapat gambaran tentang pernikahan, berikut ini yang ditulis oleh author Nico Lang tentang pernikahan. Marriage is about saying sorry. “You are going to say you’re sorry all the time. You’ll say sorry when you’re wrong, when you’re right, when you don’t want to say you’re sorry, when you don’t really want to make up or even look at the other person, when you think you can’t, when you just want to go to bed, when all you want is this stupid fight to just be over. You’ll say it on a plane, in the dark, on a train, in a car, up a tree and places humans haven’t even discovered yet.”
Intinya, apakah kita siap menahan emosi dan egoisme diri, mendahulukan kepentingan orang lain dibanding kita sendiri serta meminta maaf kapanpun dimanapun?
Untuk mengesampingkan ego sendiri butuh kedewasaan tingkat tinggi dari kedua belah pihak. Termasuk dalam hal mengurus anak dan melakukan banyak pengorbanan. Dalam kehidupan pernikahan, ego harus ditekan serendah mungkin. Nggak bisa kita dengan gampangnya bilang “nitip anak sama ortu ah biar bisa pergi hangout” atau tiap ada masalah apa kita lari ke orang tua. Mereka memang udah pasti akan membantu tapi tetap kembali pada diri kita untuk menyelesaikannya. Banyak yang akhirnya nggak bisa melakukan hal tersebut dan akhirnya memilih cerai. Kalo udah begini yang jadi korban paling menderita bukan kita, tapi anak.
“Asalkan diantara kita ada cinta, pasti apapun teratasi”, WRONG! Kalo hanya butuh cinta, maka nggak ada yang namanya hutang piutang. Sebuah keluarga butuh kemapanan (yes, suka nggak suka kita bicara uang di sini). Sebagai pasangan muda, wajar kalo belum punya cukup uang dan tabungan. Alih-alih tinggal di rumah sendiri, tinggal di salah satu rumah orang tua jadi pilihan dan jangan salah hal ini bisa menciptakan masalah baru lho. Belum ketika ada anak hadir. Mulai dari mengurus kebutuhan anak, biaya melahirkan, sampe nyiapin tabungan Pendidikan dan keperluan lainnya. Kelihatannya dari luar sih sepele, tapi udah jadi rahasia umum kalo masalah ekonomi itu salah satu pemicu utama perceraian.
Dari kementrian agama tercatat, tiap tahun kasus perceraian di Indonesia meningkat. Tahun 2017 aja ada 415.898 gugatan dan rata-rata yang menggugat adalah perempuan. Faktor penyebab perceraian paling banyak masalah pengelolaan rumah tangga dan finansial. Alasan lainnya emosi nggak terkendali, KDRT, cekcok, dan lain sebagainya.
At the end of the day, menikah itu bukanlah hal yang mudah. Tekanan sosial emang berperan besar membuat kita jadi ngebet pingin nikah, tapi coba tenang dan tanya ke diri sendiri. Apakah kita udah siap atau hanya karena takut ditinggal teman-teman menikah? Apa iya kita harus rela buru-buru menikah hanya karena alasan ketakutan tersebut?
Ini adalah hidup kita. Kita sendiri yang menjalanin dan menanggung baik-buruknya, dan juga kehidupan anak kita di masa depan nanti. Satu tindakan kecil aja akan ber-impact besar dengan seluruh aspek kehidupan kita.
Foto : Shutterstock